Dalam beberapa tahun belakangan ini banyak penyelenggara program pensiun, khususnya Program Pensiun Manfaat Pasti (PPMP), yang melakukan kajian kembali atas program pensiun yang telah lama dilaksanakannya. Perlukah Program Pensiun Di-redesign, Konversi atau Tetap Dilanjutkan ?
Dalam beberapa tahun belakangan ini banyak penyelenggara program pensiun, khususnya Program Pensiun Manfaat Pasti (PPMP), yang melakukan kajian kembali atas program pensiun yang telah lama dilaksanakannya. Terdapat beberapa alasan yang melatar-belakangi Pemberi Kerja melakukan kajian atas program pensiunnya, antara
lain.
- Ingin melaksanakan program pensiun yang biayanya lebih terprediksi.
- Menyesuaikan atau mengikuti kecenderungan praktek yang dilaksanakan di industri (market practice).
- Menyesuaikan dengan kebijakan perusahaan dibidang SDM, misalnya reward ingin lebih difokuskan pada kinerja
karyawan dari pada masa kerja.
- Adanya arahan-arahan dari pemegang saham, misalnya agar ada keseragaman dalam grup perusahaan.
Alasan-alasan diatas telah mendorong banyak penyelenggara program pensiun mengkaji kembali programnya, yang pada akhirnya melakukan perubahan sesuai dengan hasil kajian. Hasil kajian atas program pensiun tersebut akan berkisar
pada kesimpulan berikut :
- Merancang kembali (re-design) program pensiun
- Mengkonversi program pensiun (manfaat pasti) menjadi program pensiun Iuran Pasti (PPIP)
- Tetap melanjutkan program pensiun.
Mengapa Re-design? Penyelenggara PPMP, khususnya yang kondisi pendanaannya masih belum terdanai penuh (fully funded), pada umumnya merasa terbebani, terutama karena
peningkatan nilai defisit yang diakibatkan peningkatan nilai Kewajiban Aktuaria yang lebih tinggi dari peningkatan kekayaan untuk pendanaan. Hal ini terutama disebabkan oleh :
- Tidak tercapainya target investasi kekayaan
-kenaikan gaji (Penghasilan Dasar Pensiun) yang melebihi asumsi
- faktor lainnya seperti penyimpangan asumsi demografi serta inefisiensi penyelenggaraan program.
Khususnya mengenai aspek kenaikan Gaji atau Phdp dalam PPMP, dimana perannya sangat dominan pada peningkatan jumlah Kewajiban Aktuaria, telah mengakibatkan tidak
fleksibelnya pemberi kerja dalam menetapkan kebijakan tentang reward bagi keryawannya.
Alternatif Design.
Banyak cara yang telah atau dapat dilakukan dalam me-redesign program pensiun, antara lain :
a. Membatasi kepesertaan program pensiun
b. Memformulasikan kembali manfaat pensiun
c. Membatasi tingkat kenaikan Penghasilan Dasar Pensiun (Phdp)
d. Membekukan Phdp atau Masa Kerja atau kedua-duanya
e. Membentuk programlain untuk masa kerja kedepan Inti dari re-design ini adalah bagaimana agar program kedepan akan memberikan fleksibilitas bagi Pemberi Kerja dalam menetapkan kebijakan bisnisnya dan dapat memberikan kepastian pada aspek
finansial, dalam arti kecilnya resiko financial dan lebih terprediksi.
Hal tersebut dilakukan dengan landasan bahwa hakhak pensiun yang sudah dimiliki oleh peserta dan pensiunan tidak boleh berkurang.
Mengapa Konversi PPMP Dipertimbangkan? Para penyelenggara PPMP berharap agar konversi PPMP - PPIP dapat membebaskan Pemberi Kerja dari kewajiban membayar dalam hal terjadi defisit. Dalam beberapa kasus tertentu bagi Pendiri DPPK, dimana
terdapat banyak pensiunan, sering mengalami kerepotan dengan kenaikan-kenaikan uang pensiun diluar yang dijanjikan pada peraturan Dana Pensiun. Kenaikan-kenaikan uang pensiun diluar yang dijanjikan tersebut secara cash dapat memunculkan pendanaan baru, lebih jauh secara akuntansi dapat mempengaruhi laporan keuangan perusahaan, baik neraca maupun Rugi/Laba. Dengan kata lain, konversi PPMP akan memberi kesempatan pada pemberi kerja untuk melepaskan para pensiunan, sehingga perusahaan akan lebih fokus pada karyawan aktifnya.
Apakah Konversi PPMP - PPIP Sederhana? Disisi lain, dengan melaksanakan PPIP, pemberi kerja berharap akan terlepas dari tanggung jawab untuk memperhatikan para pensiunan, sehingga perusahaan akan lebih fokus pada karyawan aktifnya. Konversi program pensiun harus dibedakan dengan likuidasi Dana Pensiun yang diakibatkan oleh
tidak adanya kemampuan dari Pendiri Dana Pensiun dalam membiayai kelanjutan program pensiun. Dalam konversi yang dibicarakan disini, lebih ditekankan pada pengalihan sistem pensiun, dimana Pemberi Kerja masih memiliki kemampuan untuk membiayai program pensiun. Proses pelaksanaan konversi PPMP menjadi PPIP bisa sangat
sederhana dan bisa sangat rumit. Suatu DPPK yang memiliki peserta relatif sedikit tanpa ada pensiunan dan dengan kekayan yang cukup banyak niscaya akan jauh lebih sederhana dibandingkan DPPK yang memiliki jumlah peserta aktif dan pensiunan yang banyak, serta dengan rasio pendanaan yang kurang dari 100%.
Kompleksitas Konversi.
Kerumitan dalam mengkonversi PPMP - PPIP dipengaruhi oleh hal-hal berikut ini :
a. Jumlah peserta serta usia rata-rata peserta cukup tinggi
b. Formula program pensiun bulanan dan sudah terdapat pensiunan
c. Jumlah kekayaan DPPK kurang dari nilai kewajiban aktuaria
d. Mahalnya Anuitas Hidup (Life Annuity) dari asuransi jiwa, yang mengharuskan diperlukannya dana yang besar untuk mentransfer para pensiunan
e. Ketentuan perpajakan untuk pembelian anuitas yang harus dilakukan dimuka.
f. Sangat mungkin perlunya dana tambahan dari pemberi kerja untuk menjamin peserta (terutama yang segera akan pensiun) tidak dirugikan dengan adanya konversi tersebut. g. Masalah lain yang bersifat psikologis bagi karyawan serta pensiunan akibat pengalihan kefihak ketiga (asuransi jiwa) yang tidak ada kaitan dengan mereka.
Dengan kerumitan yang muncul akibat hal-hal tersebut diatas, maka konversi PPMP
; PPIP yang direncanakan oleh Pemberi Kerja menjadi kendala yang dapat menghambat dilaksanakannya konversi. Bagi perusahaan yang tidak terlalu mengakomodasi kekhawatiran karyawan serta pensiunan, mungkin akan lebih mudah melaksanakan konversi dibandingkan dengan perusahaan yang terlalu mempertimbangkan kekhawatiran
tersebut. Kuncinya adalah pada kemampuan pemberi kerja dalam mengkomunikasikan serta meyakinkan karyawan dan pensiunan, disamping kemampuan perusahaan dalam menanggulangi dampak finansial yang akan muncul. Mengapa Ada Dampak Finansial? Secara peraturan perundang-undangan apabila suatu DPPK yang memiliki kekayaan minimal sama dengan nilai Kewajiban Solvabilitasnya, maka tidak ada lagi dampak financial kepada Pendiri Kerja apabila konversi dilaksanakan. Dengan kata lain, apabila suatu DPPK melaksanakan konversi dimana nilai kekayaan DPPK lebih kecil dari nilai Kewajiban Solvabilitas, maka Pemberi Kerja harus menambahkan sebesar selisih
antara kekayaan dengan Kewajiban Aktuaria. Pada beberapa kejadian konversi, dimana kekayaan DPPK lebih besar dari Kewajiban Solvabilitas tetapi lebih kecil dari Kewajiban Aktuaria, Pemberi Kerja masih menambahkan sejumlah dana
sedemikian rupa sehingga kekayaan DPPK menjadi sama dengan nilai Kewajiban Aktuaria. Hal ini dilakukan oleh Pemberi Kerja secara sukarela, agar proses konversi dapat dilaksanakan dengan lancar, walaupun peraturan perundangundangan tidak menuntut ditambahkannya sejumlah dana. Bagaimana Pensiunan? Dampak finansial dari konversi
lebih banyak menimpa perusahaan yang memilki DPPK dengan jumlah peserta yang rata-rata usianya tinggi serta terdapat pensiunan yang cukup banyak. Kita ketahui bahwa manfaat yang diterima para pensiunan merupakan hak pensiun yang sudah jatuh tempo. Jadi manakala konversi dilaksanakan, maka hak-hak mereka harus dijamin tidak boleh berkurang nilainya. Akibat dari ini, maka diperlukan dana yang lebih besar untuk dapat membeli anuitas hidup dari Asuransi Jiwa. Disamping itu, perusahaan harus juga mempertimbangkan potensi berkurangnya manfaat pensiun dari
karyawan pada usia tertentu (potential loss) akibat konversi. Perhitungan konversi untuk kasus seperti tersebut diatas harus dilakukan secara hati-hati dan komprehensif. Perusahaan harus mengetahui betul dampak financial yang timbul,
sementara para karyawan harus yakin betul bahwa konversi tidak akan menjadikan hak mereka menurun. Untuk mengetahui adanya kelompok peserta yang berpotensi dirugikan, maka harus dilakukan suatu analisis atau perhitungan tertentu yang dapat menghasilkan suatu besaran yang seharusnya menjadi tanggungan pemberi kerja untuk menjamin hak-hak kelompok peserta tersebut tidak berkurang. Melihat bahwa langkah konversi tersebut ternyata tidak sederhana, maka banyak fihak penyelenggara program pensiun Manfaat Pasti yang pada akhirnya tetap melanjutkan program pensiunnya dengan kehati-hatian yang tinggi atau pada akhirnya cukup dengan me-redesign program pensiun.
Penulis adalah : Senior Consultant & President DirectorEldridge Consulting
Senin, 14 September 2009
Online Trading Saham
Online Trading Saham
Kini, investor saham memiliki cara bertransaksi saham yang semakin banyak. Selain dengan cara konvensional, investor juga bisa bertransaksi saham secara langsung dengan memanfaatkan sistem transaksi online yang dimiliki beberapa broker BEJ. Masing-masing metode, baik yang konvensional maupun online, memiliki plus-minus.
SAAt ini, sebagian besar investor memang masih bertransaksi saham secara konvensional. Maksudnya, untuk menyampaikan order jual atau beli suatu saham melalu broker, investor tersebut masih menggunakan telepon.
Cara ini, tentu saja, memiliki banyak kelemahan. Pertama, jumlah saluran telepon perusahaan sekuritas biasanya terbatas. Artinya, di dalam waktu yang bersamaan, ia hanya bisa melayani order jual atau beli dari beberapa investor saja. Investor lain harus rela mengantre. Tentu saja, kondisi ini bisa membuat investor kehilangan kesempatan untuk menangguk keuntungan.
Maklum saja, harga saham terus bergerak setiap detik. Dus, ketika si investor menunggu antrean telepon, bisa-bisa harga saham yang dibelinya sudah terbang tinggi. Belum lagi, jika sudah tersambung dengan broker pun, broker masih membutuhkan waktu untuk memasukkan order tersebut ke dalam sistem transaksi Bursa Efek Jakarta (BEJ) yang disebut Jakarta Automated Trading System (JATS).
Selain itu, investor konvensional juga masih menggunakan cara-cara lama untuk mengikuti harga saham di bursa. Misalnya, ia masih melihat harga saham di koran. Artinya, informasi harga saham itu bisa menjadi basi.
Tapi, tak perlu khawatir. Jika merasa tak nyaman dengan cara transaksi lama ini, kini, investor bisa memanfaatkan sistem transaksi online yang dimiliki oleh beberapa broker BEJ. Sesuai dengan namanya, melalui sistem transaksi canggih ini, investor bisa langsung melakukan order beli atau jual saham sendiri. Jadi, proses order jadi lebih cepat.?
(kontan)
Kini, investor saham memiliki cara bertransaksi saham yang semakin banyak. Selain dengan cara konvensional, investor juga bisa bertransaksi saham secara langsung dengan memanfaatkan sistem transaksi online yang dimiliki beberapa broker BEJ. Masing-masing metode, baik yang konvensional maupun online, memiliki plus-minus.
SAAt ini, sebagian besar investor memang masih bertransaksi saham secara konvensional. Maksudnya, untuk menyampaikan order jual atau beli suatu saham melalu broker, investor tersebut masih menggunakan telepon.
Cara ini, tentu saja, memiliki banyak kelemahan. Pertama, jumlah saluran telepon perusahaan sekuritas biasanya terbatas. Artinya, di dalam waktu yang bersamaan, ia hanya bisa melayani order jual atau beli dari beberapa investor saja. Investor lain harus rela mengantre. Tentu saja, kondisi ini bisa membuat investor kehilangan kesempatan untuk menangguk keuntungan.
Maklum saja, harga saham terus bergerak setiap detik. Dus, ketika si investor menunggu antrean telepon, bisa-bisa harga saham yang dibelinya sudah terbang tinggi. Belum lagi, jika sudah tersambung dengan broker pun, broker masih membutuhkan waktu untuk memasukkan order tersebut ke dalam sistem transaksi Bursa Efek Jakarta (BEJ) yang disebut Jakarta Automated Trading System (JATS).
Selain itu, investor konvensional juga masih menggunakan cara-cara lama untuk mengikuti harga saham di bursa. Misalnya, ia masih melihat harga saham di koran. Artinya, informasi harga saham itu bisa menjadi basi.
Tapi, tak perlu khawatir. Jika merasa tak nyaman dengan cara transaksi lama ini, kini, investor bisa memanfaatkan sistem transaksi online yang dimiliki oleh beberapa broker BEJ. Sesuai dengan namanya, melalui sistem transaksi canggih ini, investor bisa langsung melakukan order beli atau jual saham sendiri. Jadi, proses order jadi lebih cepat.?
(kontan)
Belajar Investasi Saham
Anda perlu tahu bahwa di masa sekarang ini, belajar main saham adalah hal yang wajib hukumnya. Alasannya simple saja, Anda pasti telah mengetahui bahwa deposito dan instrumen perbankan lainnya hanya memberikan imbal hasil (interest) yang amatlah minim. Jika Anda berharap mendapatkan passive income yang lumayan, tidak mungkin rasanya apabila Anda hanya mengandalkan instrumen investasi jenis deposito maupun tabungan.
Sesungguhnya, investasi dapat dilakukan ke dalam berbagai instrumen. Investasi saham hanyalah salah satu dari sekian banyak jenis investasi yang ada. Anda pasti tahu instrumen investasi yang tergolong terkenal di mata awam seperti deposito, emas, dan juga properti. Akan tetapi, dengan belajar main saham, Anda akan menjumpai berbagai macam keuntungan yang tidak akan Anda peroleh di instrumen investasi yang lainnya.
Seperti kata pepatah, tak kenal maka tak sayang. Sesungguhnya, main saham atau lebih tepat disebut investasi saham tidaklah sesulit yang dibayangkan publik. Pergerakan harga saham sendiri dapat ditelaah lebih lanjut. Ada dua jenis pendekatan yang wajib Anda kuasai jika Anda ingin berhasil dalam investasi saham Anda.
Pertama adalah dengan cara melihat latar belakang, karakteristik, serta nilai – nilai perusahaan itu sendiri yang lebih dikenal dengan sebutan analisa fundamental.
Kedua adalah dengan cara analisa teknikal. Cara kedua ini menggunakan pendekatan yang sangat berbeda dengan cara yang pertama. Semua analis saham profesional menggunakan konsep analisa teknikal untuk mengetahui pola pergerakan harga saham di pasar dari formasi grafik yang terbentuk oleh pergerakan harga yang terjadi. Anda perlu tahu bahwa analisa teknikal sendiri terbagi menjadi dua bagian besar, yakni analisa teknikal klasik dan analisa teknikal modern.
Analisa teknikal klasik menganalisis pergerakan harga saham murni hanya dari grafik saja, di dalamnya mencakup proses tarik-menarik garis (trendline, support, resistance), serta diimbangi dengan analisa volume.
Analisa teknikal modern menganalisis pergerakan harga saham dengan menggunakan beberapa perhitungan matematika seperti nilai rata-rata, standar deviasi, laju eksponensial, transformasi, serta berbagai jenis lainnya. Yang paling sederhana dan sering digunakan adalah harga rata-rata berjalan (moving average) serta perhitungan stochastic oscillator.
Hal-hal diatas inilah yang membuat kebanyakan investor retail malas mempelajarinya dan akhirnya melakukan transaksinya hanya berdasarkan rumor-rumor yang seringkali menyesatkan. Hal-hal di atas dianggap bersifat kompleks dan mayoritas orang mengatakan bahwa belajar main saham itu susah. Hal ini terjadi karena orang tersebut tidak mau mempelajarinya terlebih dahulu, dan mau cepat- cepat ‘jago’ dalam melakukan investasi saham.
Tentu hal itu tidaklah mungkin. Tidak ada orang yang langsung menjadi ‘pro’ dalam sebuah bidang tanpa mempelajari dan mencurahkan seluruh waktunya ke bidang tersebut. Kesimpulannya, sebelum terjun langsung ke bursa saham, Anda tidak boleh langsung ‘main’ saham, tetapi ‘belajar main saham’ terlebih dahulu. Hanya dengan cara itulah, Anda akan menjadi seorang investor yang sukses di dunia pasar modal.
(ferdie darmawan)
Sesungguhnya, investasi dapat dilakukan ke dalam berbagai instrumen. Investasi saham hanyalah salah satu dari sekian banyak jenis investasi yang ada. Anda pasti tahu instrumen investasi yang tergolong terkenal di mata awam seperti deposito, emas, dan juga properti. Akan tetapi, dengan belajar main saham, Anda akan menjumpai berbagai macam keuntungan yang tidak akan Anda peroleh di instrumen investasi yang lainnya.
Seperti kata pepatah, tak kenal maka tak sayang. Sesungguhnya, main saham atau lebih tepat disebut investasi saham tidaklah sesulit yang dibayangkan publik. Pergerakan harga saham sendiri dapat ditelaah lebih lanjut. Ada dua jenis pendekatan yang wajib Anda kuasai jika Anda ingin berhasil dalam investasi saham Anda.
Pertama adalah dengan cara melihat latar belakang, karakteristik, serta nilai – nilai perusahaan itu sendiri yang lebih dikenal dengan sebutan analisa fundamental.
Kedua adalah dengan cara analisa teknikal. Cara kedua ini menggunakan pendekatan yang sangat berbeda dengan cara yang pertama. Semua analis saham profesional menggunakan konsep analisa teknikal untuk mengetahui pola pergerakan harga saham di pasar dari formasi grafik yang terbentuk oleh pergerakan harga yang terjadi. Anda perlu tahu bahwa analisa teknikal sendiri terbagi menjadi dua bagian besar, yakni analisa teknikal klasik dan analisa teknikal modern.
Analisa teknikal klasik menganalisis pergerakan harga saham murni hanya dari grafik saja, di dalamnya mencakup proses tarik-menarik garis (trendline, support, resistance), serta diimbangi dengan analisa volume.
Analisa teknikal modern menganalisis pergerakan harga saham dengan menggunakan beberapa perhitungan matematika seperti nilai rata-rata, standar deviasi, laju eksponensial, transformasi, serta berbagai jenis lainnya. Yang paling sederhana dan sering digunakan adalah harga rata-rata berjalan (moving average) serta perhitungan stochastic oscillator.
Hal-hal diatas inilah yang membuat kebanyakan investor retail malas mempelajarinya dan akhirnya melakukan transaksinya hanya berdasarkan rumor-rumor yang seringkali menyesatkan. Hal-hal di atas dianggap bersifat kompleks dan mayoritas orang mengatakan bahwa belajar main saham itu susah. Hal ini terjadi karena orang tersebut tidak mau mempelajarinya terlebih dahulu, dan mau cepat- cepat ‘jago’ dalam melakukan investasi saham.
Tentu hal itu tidaklah mungkin. Tidak ada orang yang langsung menjadi ‘pro’ dalam sebuah bidang tanpa mempelajari dan mencurahkan seluruh waktunya ke bidang tersebut. Kesimpulannya, sebelum terjun langsung ke bursa saham, Anda tidak boleh langsung ‘main’ saham, tetapi ‘belajar main saham’ terlebih dahulu. Hanya dengan cara itulah, Anda akan menjadi seorang investor yang sukses di dunia pasar modal.
(ferdie darmawan)
Etika bisnis
Apa itu Etika Bisnis?
Definisi etika bisnis menurut Business & Society – Ethics and Stakeholder Management (Caroll & Buchholtz):
Ethics is the discipline that deals with what is good and bad and with moral duty and obligation. Ethics can also be regarded as a set of moral principles or values. Morality is a doctrine or system of moral conduct. Moral conduct refers to that which relates to principles of right and wrong in behavior. Business ethics, therefore, is concerned with good and bad or right and wrong behavior that takes place within a business context. Concepts of right and wrong are increasingly being interpreted today to include the more difficult and subtle questions of fairness, justice, and equity.
Dari sumber yang lain, disebutkan:
Ethics is a philosophical term derived from the Greek word “ethos,” meaning character or custom. This definition is germane to effective leadership in organizations in that it connotes an organization code conveying moral integrity and consistent values in service to the public.
(R. Sims, Ethics and Corporate Social Responsibility – Why Giants Fall, C.T.:Greenwood Press, 2003)
Jadi, ada beberapa kata kunci di sini, yaitu:
* Ethics: Is the discipline that deals with what is good and bad and with moral duty and obligation, can also be regarded as a set of moral principles or values.
* Ethical behavior: Is that which isaccepted as morally “good” and “right” as opposed to “bad” or “wrong” in a particular setting.
* Morality: A system or doctrine of moral conduct which refers to principles of right and wrong in behavior.
Etika bisnis sendiri terbagi dalam:
* Normative ethics: Concerned with supplying and justifying a coherent moral system of thinking and judging. Normative ethics seeks to uncover, develop, and justify basic moral principles that are intended to guide behavior, actions, and decisions.
R. DeGeorge, Business Ethics, 5th ed. (Upper Saddle River, N.J.: Prentice-Hall, 2002)
* Descriptive ethics: Is concerned with describing, characterizing, and studying the morality of a people, a culture, or a society. It also compares and contrasts different moral codes, systems, practices, beliefs, and values.
R. A. Buchholtz and S. B. Rosenthal, Business Ethics (Upper Saddle River, N.J.: Prentice Hall, 1998).
Perlunya Berbisnis dengan Etika
Sebenarnya, keberadaan etika bisnis tidak hanya menjawab pertanyaan-pertanyaan “remeh” seperti, “Saya belanja Rp 50.000 tapi cuma ditagih Rp 45.000. Perlu nggak saya lapor?”, atau, “Bisakah saya melakukan tindakan tidak etis/melanggar hukum untuk meningkatkan kinerja divisi saya?”, atau, “Should I accept this gift or bribe that is being given to me to close a big deal for the company?“, atau, “Is this standard we physicians have adopted violating the Hippo-cratic oath and the value it places on human life?“, dan pertanyaan-pertanyaan serupa lainnya.
Sebuah studi selama 2 tahun yang dilakukan The Performance Group, sebuah konsorsium yang terdiri dari Volvo, Unilever, Monsanto, Imperial Chemical Industries, Deutsche Bank, Electrolux, dan Gerling, menemukan bahwa pengembangan produk yang ramah lingkungan dan peningkatan environmental compliance bisa menaikkan EPS (earning per share) perusahaan, mendongkrak profitability, dan menjamin kemudahan dalam mendapatkan kontrak atau persetujuan investasi.
Di tahun 1999, jurnal Business and Society Review menulis bahwa 300 perusahaan besar yang terbukti melakukan komitmen dengan publik yang berlandaskan pada kode etik akan meningkatkan market value added sampai dua-tiga kali daripada perusahaan lain yang tidak melakukan hal serupa.
Bukti lain, seperti riset yang dilakukan oleh DePaul University di tahun 1997, menemukan bahwa perusahaan yang merumuskan komitmen korporat mereka dalam menjalankan prinsip-prinsip etika memiliki kinerja finansial (berdasar penjualan tahunan/revenue) yang lebih bagus dari perusahaan lain yang tidak melakukan hal serupa.
Kita Sebagai Pebisnis
Kasus yang paling gampang adalah Enron — yang begitu sering didiskusikan di ruang kuliah. Sebenarnya, Enron adalah perusahaan yang sangat bagus. Sebagai salah satu perusahaan yang menikmati booming industri energi di tahun 1990an, Enron sukses menyuplai energi ke pangsa pasar yang begitu besar dan memiliki jaringan yang luar biasa luas. Enron bahkan berhasil menyinergikan jalur transmisi energinya untuk jalur teknologi informasi.
Kalau dilihat dari siklus bisnisnya, Enron memiliki profitabilitas yang cukup menggiurkan. Seiring booming industri energi, Enron memosisikan dirinya sebagai energy merchants: membeli natural gas dengan harga murah, kemudian dikonversi dalam energi listrik, lalu dijual dengan mengambil profit yang lumayan dari markup sale of power atau biasa disebut “spark spread“.
Sebagai sebuah entitas bisnis, Enron pada awalnya adalah anggota pasar yang baik, mengikuti peraturan yang ada di pasar dengan sebagaimana mestinya. Pada akhirnya, Enron meninggalkan prestasi dan reputasi baik tersebut. Sebagai perusahaan Amerika terbesar ke delapan, Enron kemudian tersungkur kolaps pada tahun 2001. Tepat satu tahun setelah California energy crisis.
Seleksi alam akhirnya berlaku. Perusahaan yang bagus akan mendapat reward, sementara yang buruk akan mendapat punishment. Termasuk juga pihak-pihak yang mendukung tercapainya hal tersebut — dalam hal ini Arthur Andersen.
Masyarakat akhirnya juga lebih aware terhadap pasar modal. Pemerintah pun juga makin hati-hati dalam melakukan pengawasan. Penyempurnaan terhadap sistem terus dilakukan. Salah satunya adalah lahirnya Sarbanes-Oxley Act. Akibat mendzolimi pelaku pasar lainnya, Enron akhirnya terkapar karena melakukan penipuan dan penyesatan. Pun bagi “Enron-wannabe” lainnya, perlu berpikir ulang dua-tiga kali untuk melakukan hal serupa.
Memang benar. Kita tidak bisa berasumsi bahwa pasar atau dunia bisnis dipenuhi oleh orang-orang jujur, berhati mulia, dan bebas dari akal bulus serta kecurangan/manipulasi. Tetapi sungguh, tidak ada gunanya berbisnis dengan mengabaikan etika dan aspek spiritual. Biarlah pemerintah melakukan pengawasan, biarlah masyarakat memberikan penilaian, dan sistem pasar (dan sistem Tuhan tentunya) akan bekerja dengan sendirinya.
(nofie Iman)
Definisi etika bisnis menurut Business & Society – Ethics and Stakeholder Management (Caroll & Buchholtz):
Ethics is the discipline that deals with what is good and bad and with moral duty and obligation. Ethics can also be regarded as a set of moral principles or values. Morality is a doctrine or system of moral conduct. Moral conduct refers to that which relates to principles of right and wrong in behavior. Business ethics, therefore, is concerned with good and bad or right and wrong behavior that takes place within a business context. Concepts of right and wrong are increasingly being interpreted today to include the more difficult and subtle questions of fairness, justice, and equity.
Dari sumber yang lain, disebutkan:
Ethics is a philosophical term derived from the Greek word “ethos,” meaning character or custom. This definition is germane to effective leadership in organizations in that it connotes an organization code conveying moral integrity and consistent values in service to the public.
(R. Sims, Ethics and Corporate Social Responsibility – Why Giants Fall, C.T.:Greenwood Press, 2003)
Jadi, ada beberapa kata kunci di sini, yaitu:
* Ethics: Is the discipline that deals with what is good and bad and with moral duty and obligation, can also be regarded as a set of moral principles or values.
* Ethical behavior: Is that which isaccepted as morally “good” and “right” as opposed to “bad” or “wrong” in a particular setting.
* Morality: A system or doctrine of moral conduct which refers to principles of right and wrong in behavior.
Etika bisnis sendiri terbagi dalam:
* Normative ethics: Concerned with supplying and justifying a coherent moral system of thinking and judging. Normative ethics seeks to uncover, develop, and justify basic moral principles that are intended to guide behavior, actions, and decisions.
R. DeGeorge, Business Ethics, 5th ed. (Upper Saddle River, N.J.: Prentice-Hall, 2002)
* Descriptive ethics: Is concerned with describing, characterizing, and studying the morality of a people, a culture, or a society. It also compares and contrasts different moral codes, systems, practices, beliefs, and values.
R. A. Buchholtz and S. B. Rosenthal, Business Ethics (Upper Saddle River, N.J.: Prentice Hall, 1998).
Perlunya Berbisnis dengan Etika
Sebenarnya, keberadaan etika bisnis tidak hanya menjawab pertanyaan-pertanyaan “remeh” seperti, “Saya belanja Rp 50.000 tapi cuma ditagih Rp 45.000. Perlu nggak saya lapor?”, atau, “Bisakah saya melakukan tindakan tidak etis/melanggar hukum untuk meningkatkan kinerja divisi saya?”, atau, “Should I accept this gift or bribe that is being given to me to close a big deal for the company?“, atau, “Is this standard we physicians have adopted violating the Hippo-cratic oath and the value it places on human life?“, dan pertanyaan-pertanyaan serupa lainnya.
Sebuah studi selama 2 tahun yang dilakukan The Performance Group, sebuah konsorsium yang terdiri dari Volvo, Unilever, Monsanto, Imperial Chemical Industries, Deutsche Bank, Electrolux, dan Gerling, menemukan bahwa pengembangan produk yang ramah lingkungan dan peningkatan environmental compliance bisa menaikkan EPS (earning per share) perusahaan, mendongkrak profitability, dan menjamin kemudahan dalam mendapatkan kontrak atau persetujuan investasi.
Di tahun 1999, jurnal Business and Society Review menulis bahwa 300 perusahaan besar yang terbukti melakukan komitmen dengan publik yang berlandaskan pada kode etik akan meningkatkan market value added sampai dua-tiga kali daripada perusahaan lain yang tidak melakukan hal serupa.
Bukti lain, seperti riset yang dilakukan oleh DePaul University di tahun 1997, menemukan bahwa perusahaan yang merumuskan komitmen korporat mereka dalam menjalankan prinsip-prinsip etika memiliki kinerja finansial (berdasar penjualan tahunan/revenue) yang lebih bagus dari perusahaan lain yang tidak melakukan hal serupa.
Kita Sebagai Pebisnis
Kasus yang paling gampang adalah Enron — yang begitu sering didiskusikan di ruang kuliah. Sebenarnya, Enron adalah perusahaan yang sangat bagus. Sebagai salah satu perusahaan yang menikmati booming industri energi di tahun 1990an, Enron sukses menyuplai energi ke pangsa pasar yang begitu besar dan memiliki jaringan yang luar biasa luas. Enron bahkan berhasil menyinergikan jalur transmisi energinya untuk jalur teknologi informasi.
Kalau dilihat dari siklus bisnisnya, Enron memiliki profitabilitas yang cukup menggiurkan. Seiring booming industri energi, Enron memosisikan dirinya sebagai energy merchants: membeli natural gas dengan harga murah, kemudian dikonversi dalam energi listrik, lalu dijual dengan mengambil profit yang lumayan dari markup sale of power atau biasa disebut “spark spread“.
Sebagai sebuah entitas bisnis, Enron pada awalnya adalah anggota pasar yang baik, mengikuti peraturan yang ada di pasar dengan sebagaimana mestinya. Pada akhirnya, Enron meninggalkan prestasi dan reputasi baik tersebut. Sebagai perusahaan Amerika terbesar ke delapan, Enron kemudian tersungkur kolaps pada tahun 2001. Tepat satu tahun setelah California energy crisis.
Seleksi alam akhirnya berlaku. Perusahaan yang bagus akan mendapat reward, sementara yang buruk akan mendapat punishment. Termasuk juga pihak-pihak yang mendukung tercapainya hal tersebut — dalam hal ini Arthur Andersen.
Masyarakat akhirnya juga lebih aware terhadap pasar modal. Pemerintah pun juga makin hati-hati dalam melakukan pengawasan. Penyempurnaan terhadap sistem terus dilakukan. Salah satunya adalah lahirnya Sarbanes-Oxley Act. Akibat mendzolimi pelaku pasar lainnya, Enron akhirnya terkapar karena melakukan penipuan dan penyesatan. Pun bagi “Enron-wannabe” lainnya, perlu berpikir ulang dua-tiga kali untuk melakukan hal serupa.
Memang benar. Kita tidak bisa berasumsi bahwa pasar atau dunia bisnis dipenuhi oleh orang-orang jujur, berhati mulia, dan bebas dari akal bulus serta kecurangan/manipulasi. Tetapi sungguh, tidak ada gunanya berbisnis dengan mengabaikan etika dan aspek spiritual. Biarlah pemerintah melakukan pengawasan, biarlah masyarakat memberikan penilaian, dan sistem pasar (dan sistem Tuhan tentunya) akan bekerja dengan sendirinya.
(nofie Iman)
Pajak atas Manfaat Pensiun
Tahun 2009 ditandai dengan adanya ketentuan perpajakan baru, yaitu Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan. Dari berita yang dimuat di media massa, kita dengar adanya masyarakat yang merasa senang karena dapat bepergian ke luar negeri tanpa membayar fiskal.
Namun di sisi lain, ada yang mengeluh karena harus membayar Rp 2.500.000,- untuk biaya fiskal keluar negeri yang sebelumnya sebesar Rp 1 juta.
Berita lain adalah pengenaan tambahan pajak sebesar 20 persen bagi pegawai atau mereka yang belum atau tidak memililki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), di mana tambahan pajak ini akan menjadi beban dari penerima penghasilan sehingga pegawai yang tidak memililki NPWP akan menerima penghasilan yang berkurang.
Pemerintah, dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak, telah mencanangkan adanya Sunset Policy, di mana bagi mereka yang belum memiliki NPWP diminta segera mendaftar ke kantor pajak. Bahkan, kita lihat di bandara-bandara ada counter yang menyediakan fasilitas pendaftaran NPWP.
Bagaimana dengan pengenaan pajak bagi para pensiunan, khususnya pensiunan non-PNS yang sudah menerima manfaat pensiun bulanan atau mereka yang akan memasuki masa pensiun? Tulisan berikut akan membahas beberapa masalah yang timbul berkaitan dengan ketentuan perpajakan yang baru tersebut.
Pada dasarnya, memiliki NPWP merupakan kewajiban bagi seluruh warga negara, tak terkecuali para pensiunan. Memang ada persepsi yang kurang menyenangkan, di mana bila dengan memiliki NPWP, kita akan dikejar-kejar oleh aparat perpajakan. Setiap tahun harus menyerahkan Surat Pemberitahuan (SPT) yang cara mengisinya pun kurang dipahami. Belum lagi kewajiban untuk melengkapi data-data perpajakannya.
Dengan adanya ketentuan tentang kewajiban memiliki NPWP, tentunya semua warga negara harus memilikinya. Nah, bagi pensiunan yang penghasilannya di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), tentunya kewajibannya menjadi nihil. Demikian pula halnya tentang pengenaan pajak.
Bagi Dana Pensiun yang menyelenggarakan Dana Pensiun Pemberi Kerja-Program Pensiun Manfaat Pasti ( DPPK-PPMP), pada umumnya pajak atas manfaat pensiun telah dipotong Dana Pensiun sehingga para pensiunan tinggal meminta bukti setor pajak ke Dana Pensiun masing-masing”khusus bagi pegawai swasta atau BUMN yang sudah menyelenggarakan program pensiun.
Bagi pensiunan dari Dana Pensiun yang menyelenggarakan Program Pensiun Iuran Pasti (PPIP) maupun Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK), dapat meminta bukti potongan pajak (final) dari Dana Pensiun tersebut.
Tarif Pajak
Pasal 17 UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan menetapkan besarnya pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak sebagai berikut: sampai dengan Rp 50.000.000, lima persen; di atas Rp 50.000.000 sampai Rp 250.000.000, 15 persen; di atas Rp 250.000.000 sampai Rp 500.000.000, 25 persen, dan di atas Rp 500.000.000, 30 persen.
Bagi peserta program pensiun yang menyelenggarakan PPIP, baik DPPK maupun DPLK, ataupun peserta DPPK “PPMP yang mengambil dananya secara sekaligus, sejak tahun 2001 telah mengikuti ketentuan yang diatur dalam PP Nomor 149 Tahun 2000 sebagai berikut:
penghasilan bruto di atas Rp 25.000.000 sampai dengan Rp 50.000.000 sebesar lima persen; penghasilan bruto di atas Rp 50.000.000 sampai dengan Rp 100.000.000 sebesar 10 persen; penghasilan bruto di atas Rp 100.000.000 sampai dengan Rp 200.000.000 sebesar 15 persen; penghasilan bruto di atas Rp 200.000.000 sebesar 25 persen; dikecualikan dari pemotongan pajak apabila penghasilan bruto jumlahnya Rp 25.000.000 atau kurang.
Setiap peraturan undang-undang tentunya memerlukan peraturan pelaksanaan, khususnya dalam bentuk Peraturan Pemerintah. Nah, dalam kaitan dengan pajak atas Manfaat Pensiun ini, kita belum menemukan adanya PP sebagaimana yang kita temukan di PP No 149 Tahun 2000.
PP Nomor 149 Tahun 2000 ini belum ada ketentuan yang mencabutnya sehingga secara hukum, ketentuan ini masih berlaku. Adanya surat dari Kantor Pajak kepada Pengurus Dana Pensiun untuk melaksanakan ketentuan UU perpajakan yang baru kiranya perlu disikapi dengan melihat aturan-aturan perpajakan yang ada.
Bagi pegawai yang akan segera memasuki masa pensiun, kewajiban untuk memiliki NPWP tidak bisa ditawar lagi karena bila tidak memiliki, akan dikenakan pajak yang lebih tinggi dan khusus dalam PPIP, pajak atas uang pensiun menjadi beban peserta, sebagaimana diatur dalam ketentuan perpajakan yang baru
Namun di sisi lain, ada yang mengeluh karena harus membayar Rp 2.500.000,- untuk biaya fiskal keluar negeri yang sebelumnya sebesar Rp 1 juta.
Berita lain adalah pengenaan tambahan pajak sebesar 20 persen bagi pegawai atau mereka yang belum atau tidak memililki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), di mana tambahan pajak ini akan menjadi beban dari penerima penghasilan sehingga pegawai yang tidak memililki NPWP akan menerima penghasilan yang berkurang.
Pemerintah, dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak, telah mencanangkan adanya Sunset Policy, di mana bagi mereka yang belum memiliki NPWP diminta segera mendaftar ke kantor pajak. Bahkan, kita lihat di bandara-bandara ada counter yang menyediakan fasilitas pendaftaran NPWP.
Bagaimana dengan pengenaan pajak bagi para pensiunan, khususnya pensiunan non-PNS yang sudah menerima manfaat pensiun bulanan atau mereka yang akan memasuki masa pensiun? Tulisan berikut akan membahas beberapa masalah yang timbul berkaitan dengan ketentuan perpajakan yang baru tersebut.
Pada dasarnya, memiliki NPWP merupakan kewajiban bagi seluruh warga negara, tak terkecuali para pensiunan. Memang ada persepsi yang kurang menyenangkan, di mana bila dengan memiliki NPWP, kita akan dikejar-kejar oleh aparat perpajakan. Setiap tahun harus menyerahkan Surat Pemberitahuan (SPT) yang cara mengisinya pun kurang dipahami. Belum lagi kewajiban untuk melengkapi data-data perpajakannya.
Dengan adanya ketentuan tentang kewajiban memiliki NPWP, tentunya semua warga negara harus memilikinya. Nah, bagi pensiunan yang penghasilannya di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), tentunya kewajibannya menjadi nihil. Demikian pula halnya tentang pengenaan pajak.
Bagi Dana Pensiun yang menyelenggarakan Dana Pensiun Pemberi Kerja-Program Pensiun Manfaat Pasti ( DPPK-PPMP), pada umumnya pajak atas manfaat pensiun telah dipotong Dana Pensiun sehingga para pensiunan tinggal meminta bukti setor pajak ke Dana Pensiun masing-masing”khusus bagi pegawai swasta atau BUMN yang sudah menyelenggarakan program pensiun.
Bagi pensiunan dari Dana Pensiun yang menyelenggarakan Program Pensiun Iuran Pasti (PPIP) maupun Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK), dapat meminta bukti potongan pajak (final) dari Dana Pensiun tersebut.
Tarif Pajak
Pasal 17 UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan menetapkan besarnya pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak sebagai berikut: sampai dengan Rp 50.000.000, lima persen; di atas Rp 50.000.000 sampai Rp 250.000.000, 15 persen; di atas Rp 250.000.000 sampai Rp 500.000.000, 25 persen, dan di atas Rp 500.000.000, 30 persen.
Bagi peserta program pensiun yang menyelenggarakan PPIP, baik DPPK maupun DPLK, ataupun peserta DPPK “PPMP yang mengambil dananya secara sekaligus, sejak tahun 2001 telah mengikuti ketentuan yang diatur dalam PP Nomor 149 Tahun 2000 sebagai berikut:
penghasilan bruto di atas Rp 25.000.000 sampai dengan Rp 50.000.000 sebesar lima persen; penghasilan bruto di atas Rp 50.000.000 sampai dengan Rp 100.000.000 sebesar 10 persen; penghasilan bruto di atas Rp 100.000.000 sampai dengan Rp 200.000.000 sebesar 15 persen; penghasilan bruto di atas Rp 200.000.000 sebesar 25 persen; dikecualikan dari pemotongan pajak apabila penghasilan bruto jumlahnya Rp 25.000.000 atau kurang.
Setiap peraturan undang-undang tentunya memerlukan peraturan pelaksanaan, khususnya dalam bentuk Peraturan Pemerintah. Nah, dalam kaitan dengan pajak atas Manfaat Pensiun ini, kita belum menemukan adanya PP sebagaimana yang kita temukan di PP No 149 Tahun 2000.
PP Nomor 149 Tahun 2000 ini belum ada ketentuan yang mencabutnya sehingga secara hukum, ketentuan ini masih berlaku. Adanya surat dari Kantor Pajak kepada Pengurus Dana Pensiun untuk melaksanakan ketentuan UU perpajakan yang baru kiranya perlu disikapi dengan melihat aturan-aturan perpajakan yang ada.
Bagi pegawai yang akan segera memasuki masa pensiun, kewajiban untuk memiliki NPWP tidak bisa ditawar lagi karena bila tidak memiliki, akan dikenakan pajak yang lebih tinggi dan khusus dalam PPIP, pajak atas uang pensiun menjadi beban peserta, sebagaimana diatur dalam ketentuan perpajakan yang baru
Langganan:
Postingan (Atom)